Perbandingan
Sistim Periodik Vs Perpetual Transaksi-Per-Transaksi
Ada banyak transaksi yang
mengakibatkan volume persediaan menjadi meningkat atau menurun selama satu
periode. Di sini kita lihat perbandingan sistim periodik dan perpetual
transaksi-per-transaksi, jurnal-per-jurnal.
1. Pembelian dan Penjualan Barang
Dalam sistim perpetual, pembelian
dan penjualan barang persediaan dicatat langsung ke akun “Persediaan,” dengan
kata lain: perubahan nilai nominal dan volume persediaan langsung terlihat
dalam buku besar (ledger) persediaan setiap kali ada transaksi pembelian dan
penjualan. Sedangkan dalam sistim periodik yang dicatat hanya kenaikan nilai
dan volume persediaan melalui akun yang disebut dengan “Pembelian”, sementara
tidak mencatat adanya penurunan pada setiap transaksi penjualan yang terjadi
(penurunan persediaan diakui sekaligus di akhir periode dengan melakukan
pemeriksaan fisik). Untuk lebih jelasnyanya, kita lihat contoh berikut ini:
JAK Mart, Perusahaan Grossir,
menunjukan data sbb:
(a) Saldo Awal Persediaan = 100
units @ Rp 60,000 = Rp 6,000,000
(b) Pembelian = 900 units @ Rp 60,000 = Rp 54,000,000
(c) Penjualan = 600 units @ Rp 120,000 = Rp 72,000,000
(d) Saldo Akhir = 400 units @Rp 60,000 = Rp 24,000,000
(Note: Untuk menghindari penggunaan
cost flow—yang bisa membingungkan, kita asumsikan cost per unit persediaan
konstan dari awal hingga akhir periode)
Jika JAK Mart menggunakan sistim
perpetual, maka alur transaksi dan jurnalnya
akan nampak sbb:
(a) Saldo awal persediaan (di Neraca)
= Rp 6,000,000
(b) Pembelian 900 units dengan harga
Rp 60,000 per unit dicatat dengan jurnal:
[Debit]. Persediaan = Rp 54,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 54,000,000
(c) Penjualan 600 units dengan harga
Rp 120,000 per unit dicatat dengan sepasang jurnal:
[Debit]. Piutang Dagang = Rp
72,000,000
[Kredit]. Penjualan = Rp 72,000,000
(Untuk mengakui penjualan dan piutang)
Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp
36,000,000
[Kredit]. Persediaan = Rp 36,000,000
(Untuk mengakui harga pokok penjualan sekaligus penurunan nilai inventory,
60,000 x 600 = Rp 36,000,000.)
(d) Kecuali ada perbedaan antara
hasil penghitungan fisik dengan buku, maka tidak ada jurnal penyesuaian yang
perlu dimasukan. Saldo akhir persediaan otomatis menunjukan nilai Rp 24,000,000.
Bagaimana jika JAK Mart menggunakan
sistim periodik? Jurnalnya akan nampak sebagai
berikut:
(a) Saldo awal persediaan (di
Neraca) = Rp 6,000,000
(b) Pembelian 900 units dengan harga
Rp 60,000 per unit dicatat dengan jurnal:
[Debit]. Pembelian = Rp 54,000,000
(menggunakan akun pembelian)
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 54,000,000
(c) Pada sistim periodik, penjualan
600 units dengan harga Rp 120,000/unit dicatat hanya dengan satu jurnal
saja—untuk mengakui penjualan dan piutang dagang (Note: penurunan persediaan
dan pengakuan harga pokok penjualan dilakukan sekaligus di akhir periode):
[Debit]. Piutang Dagang = Rp
72,000,000
[Kredit]. Penjualan = Rp 72,000,000
(Untuk mengakui penjualan dan piutang)
(d) Di akhir periode, setalah
dilakukan penghitungan fisik, JAK memasukan jurnal penyesuaian—untuk mengakui
persediaan, harga pokok penjualan, sekaligus ‘menghapus’ saldo akun
“Pembelian”—sebagai berikut:
[Debit]. Persediaan = Rp 18,000,000
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 36,000,000
[Kredit]. Pembelian = Rp 54,000,000
Note: Dengan jurnal penyesuaian yang dimasukan di akhir periode
ini, maka saldo akun “Pembelian” menjadi nol, saldo akhir persediaan di Neraca
menjadi Rp 24,000,000 (=saldo awal 6,000,000 + adjustment kenaikan 18,000,000),
dan muncul Harga Pokok Penjualan di Laporan Laba-Rugi sebesar Rp 54,000,000
(=6,000,000 + 54,000,000 – 24,000,000).
2. Retur Pembelian, Diskon Pembelian
dan Cadangan
Apa yang terjadi jika ada retur
pembelian atau diskon? Perusahaan yang menerapkan sistim periodik, disamping
menggunakan akun “Pembelian”—yang bersaldo debit mereka juga menggunakan 2
kontra-akun pembelian (bersaldo kredit) yang diberi nama “Retur Pembelian” dan
“Diskon Pembelian.” Jika ada pembelian yang dikembalikan (retur pembelian) atau
memeperoleh potongan, maka kontra akun ini menjadi pengurang nilai “Pembelian”.
Hasil silang saldo “Pembelian” dan kedua kontra-akun ini menghasilkan apa yang
disebut dengan “Pembelian Bersih”. Bagaimanapun juga, semua slado akun ini
(Pembelian, Diskon Pembelian dan Retur Pembelian) bersifat sementara saja,
nantinya akan dihapus degan jurnal penyesuaian di akhir periode (seperti
terlihat pada contoh jurnal penyesuaian sebelumnya). Untuk lebih konkoretnya,
kita buat satu contoh transaksi:
Karena adanya kerusakan, JAK Mart
mengembalikan pembelian barang sebesar Rp 7,000,000.
Jika JAK Mart menerapkan sistim
perpetual, maka JAK akan mengakui penurunan
nilai utang sekaligus langsung mengakui penurunan nilai persediaan, dengan
jurnal:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 7,000,000
[Kredit]. Persediaan = Rp 7,000,000
(Note: Pengembalian barang mengurangi nilai persediaan sebesar Rp 7,000,000)
Jika JAK Mart menerapkan sistim
periodik, maka jurnalnya adalah sbb:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 7,000,000
[Kredit]. Retur Pembelian = Rp 7,000,000
(Note: pembelian megurangi nilai pembelian)
Lanjut dengan diskon…
Di lain kesempatan JAK Mart membeli
barang sebesar Rp 10,000,000 dengan termin kredit 2/10, n/30. Karena JAK Mart
bisa melakukan pelunasan seminggu setelah pembelian, maka JAK Mart memperoleh
diskon 2%. Bagimana jurnalnya?
Jika menerapkan sistim perpetual, maka saat pembelian JAK Mart memasukan jurnal:
[Debit]. Persediaan = Rp 10,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
Saat pelunasan, diskon Rp 200,000
tersebut sekaligus diakui sebagai pengurang nilai persediaan, dengan jurnal:
[Debit]. Utang Dagang = Rp
10,000,000
[Credit]. Persediaan = Rp 200,000
[Credit]. Kas = Rp 9,800,000
Jika menggunakan sistim periodik, maka saat pembelian jurnal yang dimasukan adalah:
[Debit]. Pembelian = Rp 10,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
Diskon yang diperoleh tidak diakui
sebagai pengurang nilai persediaan (ingat: sistim periodik tidak mencatat
persediaan tetapi “pembelian”), melainkan dicatat sebagai “Diskon Pembelian.”
Sehingga jurnal yang dimasukan ketika melakukan pelunasan adalah sbb:
[Debit]. Utang Dagang = Rp
10,000,000
[Credit]. Diskon Pembelian = Rp 200,000
[Kredit]. Kas = Rp 9,800,000
3. Retur Penjualan dan Diskon
Penjualan
Transkasi lainnya yang terkait
dengan persediaan adalah retur penjualan dan diskon penjualan. Pada transaksi
ini, baik sistim perpetual maupun sistim periodik sama-sama meggunakan akun
yang diberi nama “Retur Penjualan” dan “Diskon Penjualan”—yang kedua-duanya
merupakan kontra-akun penjualan (bersaldo debit), bedanya hanya di pengakuan
“Harga Pokok Penjualan”. Pada sistim perpetual return penjualan, disamping
mengakui penurunan piutang dagang dan penurunan penjualan (dengan akun “retur
penjualan”) juga mengakui penurunan harga pokok penjualan dan persediaan.
Sedangkan pada sistim periodik, tidak. Misalnya:
JAK Mart menerima barang kembali
dari pelanggan (karena cacat) senilai Rp 6,000,000. Harga Pokok Penjualan
barang yang diretur tersebut adalah Rp 3,000,000. (Kita asumsikan pengakuan
penjualan menggunakan metode bruto/gross method)
Jika menggunakan perpetual, maka JAK Mart akan mencatat retur tersebut dengan sepasang
jurnal:
[Debit]. Retur Penjualan = Rp
6,000,000 (kontra akun penjualan bersaldo debit)
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 6,000,000
(Untuk mengakui retur penjualan)
Dan;
[Debit]. Persediaan = Rp 3,000,000
[Kredit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 3,000,000
(Untuk mengakui barang persediaan yang telah dikembalikan sekaligus menguragi
harga pokok penjualan).
Sedangkan jika menggunakan sistim
periodik, JAK Mart hanya akan memasukan satu
jurnal saja, yaitu:
[Debit]. Retur Penjualan = Rp
6,000,000
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 6,000,000
(Untuk mengakui retur penjualan)
Catatan: Sistim periodik baru akan menghitung saldo persediaan dan
mengakui harga pokok penjualan di akhir periode—setelah penghitungan fisik
dilakukan.
Selanjutnya, diskon penjualan. Bagaimana
pencatatanya?
Oke. Anggap JAK Mart memberikan
diskon Rp 200,000 atas pelunasan pembelian sebesar Rp 10,000,000 dari pelanggan
(masih menggunakan metode pengakuan penjualan bruto/gross method)
Sistim perpetual dan sistim periodik
memasukan jurnal yang sama persis
untuk pelunasan yang mengandung diskon penjualan. Dalam contoh ini:
[Debit]. Kas = Rp 9,800,000
[Debit]. Diskon Penjualan = Rp 200,000 (kontra akun penjualan bersaldo debit).
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 10,000,000
Secara keseluruhan, dari pebandingan
jurnal—antara sistim periodik dan perpetual, jelas terlihat bahwa:
Terhadap laporan keuangan yang
disajikan di setiap akhir periode, menggunakan sistim perpetual atau periodik
tidak berpengaruh apa-apa, dalam pengertian: nilai saldo akhir persediaan (yang
disajikan di neraca) dan harga pokok penjualan (yang disajikan di laporan
laba-rugi), akan menunjukan hasil yang sama.
Bedanya, hanya terjadi pada teknis
pengakuan dan nama akun yang digunakan pada setiap pengakuan transaksi. Sistim
perpetual selalu mendebit/mengkredit akun “Persediaan” untuk setiap transaksi
yang mengakibatkan kenaikan atau penurunan persediaan. Sedangkan sistim
periodik—untuk sementara—menggunakan akun “Pembelian” untuk setiap penambahan
persediaan dan baru memperhitungkan penurunan persediaan di akhir
periode—sertelah penghitungan fisik dilakukan.
Bagaimana jika perusahaan yang
menerapkan sistim periodic—terpaksa harus menyajikan laporan padahal periode
belum berakhir—misalnya: untuk pengajuan kredit? Perusahaan bisa (a) menggunakan laporan periode sebelumnya,
atau (b) melakukan penghitungan fisik saat itu juga lalu menjalankan prosedur
seperti yang dilakukan di akhir periode.
Oke. Penerapan sistim periodik atau
perpetual tidak ada pengaruhnya terhadap laporan keuangan. Bagaimana dengan
pengelolaan persediaan dan keuangan secara keseluruhan? Mari kita lihat implikasinya… Lanjut…
Implikasi
Penerapan Sistim Periodik dan Perpetual Terhadap Pengelolaan Persediaan
Dari perbenadingan di atas, jelas
terlihat bahwa: untuk tujuan pengawasan persediaan, sistim perpetual jauh lebih
baik dibandingkan sistim periodik. Dengan sistim perpetual, management dapat
mengetahui nilai persediaan sewaktu-waktu—tanpa perlu menunggu hingga akhir
periode.
Khususnya di perusahaan-perusahaan
manufaktur, pengawasan terhadap barang persediaan sangat kompleks—dengan adanya
potensi barang scrap dan cacat yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan
jenis lain. Dalam kondisi seperti ini, jika sistim persediaan yang diterapkan
adalah sistim periodik—dimana penurunan (volume dan nilai persediaan) baru
diperhitungkan di akhir periode, maka kesempatan untuk mengetahui adanya
pemborosan bahan baku, bahan penolong dan kemungkinan adanya barang cacat saat
dalam proses produksi menjadi lebih sulit ditelusuri—kemungkinan baru diketahui
setelah di akhir periode, dengan kata lain: sudah terjadi.
Efektifitas pengawasan terhadap
barang persediaan berimplikasi besar terhadap pengelolaan keuangan perusahaan
secara keseluruhan. Terutama di perusahaan dagang dan manufaktur, sebagian
besar kekayaan (asset) perusahaan ada di persediaan—entah itu berupa bahan
baku, bahan penolong, barang dalam proses maupun barang jadi. Diantara
banyaknya beban yang ditanggung oleh operasional perusahaan, penggunaan
persediaan cenderung mendominasi. Jika scope-nya dipersempit, persediaan bahkan
mengkonsumsi modal
kerja (working capital) paling besar.
Itu sebabnya, bagi managemen
perusahaan, pemilihan sistim persediaan yang akan diterapkan (apakah
menggunakan sistim perpetual atau periodik) menjadi sangat krusial.
“Lalu, apakah sebaiknya saya
menerapkan sistim persediaan perpetual atau periodik?” Mungkin ada yang
berpikir demikian. Kita pindah ke paragraph selanjutnya…
Apakah
Sebaiknya Menggunakan Sisitim Persediaan Periodik atau Perpetual?
Jawaban atas pertanyaan ini sangat
tergantung pada situasi dan kondisi opersional perusahaan anda sehari-hari.
Dari aspek pelaporan keuangan,
menurut saya, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Menggunakan sistim
perpetualpun, toh di akhir periode anda masih harus melakukan stock opname
(inventory physical count) untuk memverifikasi keakuratan data persediaan yang
diperoleh dari sistim perpetual. Dan, jika terjadi perbedaan antara hasil
penghitungan fisik dengan saldo akhir buku, toh anda masih harus membuat
rekonsiliasi dan inventory adjustment, iya kan?
Tetapi dari aspek pengawasan persediaan,
sistim perpetual jelas lebih baik dibandingkan sistim periodik. Tetapi perlu di
sadari bahwa: menerapkan sistim perpetual artinya anda harus siap melakukan
pencatatan setiap kali ada transaksi sehubungan dengan persediaan.
Untuk perusahaan-perusahaan berskala
besar, jelaslah bahwa sistim perpetual selalu lebih baik—lagipula tenaga untuk
melakukan input data setiap saat selalu ada. Tetapi untuk perusahaan berskala
sedang dan kecil, menerapkan sistim perpetual bisa menjadi tantangan tersediri.
Masih perlu melihat kondisi operasional perusahaan sehari-hari.
Untuk mempermudah, saya buatkan 2
macam perusahaan—dengan karakter opersional yang sangat berbeda, sebagai
ilustrasi:
1. Perusahaan Pertama, Computer
Wholesaler – Anda mengelola perusahaan yang
menjual komputer dalam jumlah besar, pangsa pasar perusahaan anda bisa jadi
pengguna akhir maupun pedagang computer eceran. Sebelum memilih apakah
menggunakan sistim persediaan periodik atau perpetual, anda perlu
mempertimbangkan kondisi operasional perusahaan anda. Bagaimana
kondisinya?
Barang dagangan anda adalah tergolong bernilai tinggi
Iklan produk/perushaan anda muncul di TV atau
suratkabar lokal setiap hari
Volume penjualan harian anda sangat tinggi
Anda mempekerjakan lebih dari 40 orang pegawai sales
Anda membayangkan bahwa pelanggan akan sangat kecewa
jika mereka datang berbelanja tetapi barang persediaan yang anda iklankan
ternyata sudah habis terjual
Dengan kondisi operasional
perusahaan seperti ini, apakah menggunakan sistim perpetual cukup masuk akal? Jelas iya. Anda perlu mengetahui saldo persediaan barang
setiap hari—bahkan mungkin setiap jam atau menit, yang tidak mungkin bisa anda
dapatkan jika menggunakan sistim periodik. Dengan sistim perpetual, setiap
transkasi penjualan selalu diikuti dengan pencatatan barang keluar, sementara
dalam sistim periodik tidak.
2. Perusahaan Kedua, Toko Serba Ada
Di Stasiun Kereta Api – Di sini anda mengelola toko yang
menjual berbagai macam barang, untuk orang-orang sibuk yang bepergian
kesana-kemari dengan kondisi yang selalu terburu-buru. Anda perlu
mempertimbangkan kondisi opersional toko anda sebelum memutuskan untuk
menerapkan sistim persediaan perpetual atau periodik. Bagaimana
situasinya?
Penjualan paling banyak terjadi di waktu pagi—saat
sebagian besar orang buru-buru ke tempat kerja atau ke kampus, dan petang
hari—saat sebagian besar orang buru-buru pulang ke rumah setelah seharian
bekerja.
Anda menjual berbagai macam barang mulai dari kertas
tisu, permen, koran/majalan, gantungan kunci, stationary, minuman dingin,
kue kotak, dll
Anda hanya memiliki 2 orang pegawai yang untuk melayani
pembeli di waktu-waktu padat sudah terlihat kewalahan, sehingga sering
anda sendiri yang ikut membantu.
Di jam-jam padat, banyak pelanggan yang sampai harus
mengantri untuk membayar—sementara mereka hanya membeli barang-barang
kecil yang sesungguhnya bisa dibeli di toko mana saja.
Dalam kondisi operasional seperti
ini, apakah menerapkan sistim persediaan perpetual masuk akal? Jelas tidak. Pegawai dan anda tidak akan sempat melakukan
aktivitas administrative (termasuk accounting) yang dperlukan untuk menerapkan
sistim perpetual. Salah-salah, pelanggan tidak jadi belanja—karena malas
menunggu proses.
Betul, kehadiran teknologi barcode
dan infrared yang banyak digunakan di bisnis retail sangat membantu proses
input data penjualan. Alat yang sama juga bisa digunakan dalam proses input
data pembelian barang persediaan. Jika memungkinkan untuk menggunakan teknologi
ini, tentu, perusahaan atau toko sekecil apapun bisa menerapkan sistim perpetual
tanpa hambatan, dan anda bisa melakukan pengawasan terhadap persediaan dengan
lebih baik.